Lemhannas Diskusikan Masalah Otonomi Khusus Papua
Berita & Artikel Rabu, 8 Mei 2019, 05:23
Direktorat Pengkajian Ideologi dan Politik Kedeputian Pengkajian Strategik Lemhannas RI menyelenggarakan focus group discussion (FGD) kajian quick response, Rabu (8/5), di Ruang Kreshna Gedung Astagatra yang membahas tentang pelaksanaan otonomi khusus (otsus) di provinsi Papua dan Papua Barat. Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi ini diantaranya adalah Plt. Direktur Kawasan Perkotaan dan Batas Negara Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Thomas Umbu Pati, M.Si, Kepala Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Periode 2011-2014 Letjen TNI (Purn) Bambang Darmono, dan Pakar Kajian Papua Drs. Simon Patrice Morin.
Simon Patrice Morin mengungkapkan, dana otsus yang signifikan nampaknya tidak serta merta mendongkrak kesejahteraan orang asli Papua ke tingkat yang memuaskan. Masih banyak kendala yang dihadapi antara lain masalah perencanaan yang belum tepat sasaran, masalah pelaksanaan dengan managemen pemerintahan daerah yang belum optimal, masalah sistem pengawasan yang transparan dan efektif terhadap penggunaan dana otsus mulai dari pusat sampai ke daerah tidak optimal, serta kurangnya pemahaman apparat pemerintah daerah dan bahkan pemerintah nasional terhadap tujuan pembuatan undang undang sehingga kurang adanya singkronisasi dalam penyusunan program untuk menyejahterakan rakyat, jelas Simon.
Simon juga menyampaikan berhasil atau gagalnya pelaksanaan otsus, menurutnya itu tergantung persepsi. Soal otsus gagal atau berhasil menyangkut soal rasa dan persepsi. Namun patut diakui bahwa sejak diberlakukannya otsus, telah terjadi banyak perubahan di Tanah Papua terutama pembangunan fisik infrastuktur pemerintahan yang memungkinkan berbagai daerah yang tadinya kurang dikenal menjadi dikenal, ungkapnya.
Thomas Umbu, mewakili pemerintah menjelaskan derivasi Undang-Undang 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang masih sepenuhnya terlaksana. Tugas kemendagri adalah menderivasi UU 21 ini, tentang perdasus (perda khusus) dan persasi (perda provinsi) yang masih banyak tunggakan yang kita harapkan Komisi Hukum Adhoc di Papua itu bekerja dengan baik, tetapi sampai saat ini belum terbentuk. Di Papua sendiri ada 9 perdasus yang sudah ditetapkan, dan ada 4 yang belum, 3 perdasi yang sudah ditetapkan, 5 belum, jelas Thomas. Menurut Thomas, perlu segera dilakukan percepatan untuk menetapkan perdasus dan perdasi yang belum, serta melakukan evaluasi efektivitas dan efisiensi perdasus dan perdasi yang telah berjalan.
Sementara itu, Bambang Darmono yang pernah menjabat sebagai kepala UP4B melihat pelaksanaan otsus dari segi keamanan, Menurutnya yang perlu untuk dievaluasi adalah masalah keamanan. Kondisi keamanan menjadi penghalang kecepatan pelaksanaan percepatan pembangunan. Tata kelola sistem pemerintahan tidak akan berjalan manakala keamanan tidak dapat mendukungnya, ujar Bambang.
Kasus-kasus yang terjadi memberi petunjuk bahwa dalam kondisi tertentu ancaman telah mengarah kepada keamanan negara yang berdemensi kedaulatan. Public services, development dan empowerment yang harus menjadi output dari mekanisme kerja sistim pemerintahan realitanya juga terkendala oleh faktor keamanan. Pendekatan kesejahteraan yang menjadi dasar pijakan UU Nomor 21 tahun 2001 tidak boleh menafikkan penegakan keamanan apalagi penegakan kedaulatan. Keluwesan politik harus dibuka dalam hal ini. Untuk ini, diperlukan evaluasi obyektif terkait masalah penanganan masalah keamanan, ungkap Bambang.