Tiga Tantangan Pengelolaan Potensi Laut China Selatan

25 September 2024

Press Release

Nomor : PR/24/IX/2024

Tanggal: 25 September 2024

Jakarta- Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia (Wamenlu RI) Pahala Nugraha Mansury, S.E., M.B.A. menyebutkan bahwa ada beberapa tantangan dalam pengelolaan potensi Laut China Selatan.

Pengelolaan yang tepat atas Laut China Selatan dapat membawa kemakmuran dan pembangunan berkelanjutan bagi negara-negara di sekitarnya. Namun, di balik potensi tersebut, ada juga beberapa tantangan, kata Wamenlu RI saat memberikan pidato kunci pada kegiatan Jakarta Geopolitical Forum VIII/2024 di Hotel Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta (25/9).

Tantangan pertama yang dihadapi adalah klaim tumpang tindih antarnegara di Laut China Selatan. Saat ini, kita semakin melihat narasi konflik antarnegara terkait Laut China Selatan. China, Brunei, Filipina, Vietnam, dan Malaysia semuanya mengklaim wilayah laut ini. Hal ini telah menyebabkan banyak insiden di Laut China Selatan, termasuk bentrokan terbaru pada Agustus tahun ini, imbuh Wamenlu Pahala.

Kedua, kejahatan transnasional yang terus meningkat di Laut China Selatan telah menjadi perhatian internasional. Kejahatan terkait perikanan terus meningkat dan kegiatan kriminal lain, seperti perdagangan manusia, eksploitasi, penyelundupan narkoba dan manusia, serta imigrasi gelap juga turut menjadi masalah besar. Hal ini harus ditangani dan membutuhkan upaya kolektif dari negara-negara di kawasan.

Ketiga, degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Jumlah sumber daya yang melimpah telah menjadi anugerah sekaligus kutukan di Laut China Selatan, di mana eksploitasi yang berlebihan merajalela. Sebagai contoh, lebih dari lima puluh persen kapal penangkap ikan di dunia beroperasi di Laut China Selatan, yang menyebabkan stok ikan menurun drastis, kata Wamenlu Pahala.

Selain itu, eksplorasi serta pengeboran minyak dan gas juga telah menyebabkan kerusakan pada ikan maupun mamalia laut. Dampak perubahan iklim ini juga termasuk menghangatnya suhu air dan pola cuaca ekstrim yang telah memengaruhi karang serta spesies lain di Laut China Selatan.

Meski demikian, Wamenlu Pahala melihat bahwa ada beberapa hal yang sangat penting untuk memastikan perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan, khususnya di Laut China Selatan.

Pertama, arsitektur inklusif regional. Konflik di Laut China Selatan kemungkinan besar tidak akan menguntungkan siapa pun dalam jangka panjang. Sebaliknya, hal ini akan memastikan kerugian ekonomi bagi negara-negara di kawasan, tidak hanya di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga di negara-negara sekitarnya di jalur pelayaran.

Di kawasan Pasifik, Wamenlu melihat banyak wilayah yang telah lama menjadi kekuatan positif dan menekankan pada komunikasi, konsultasi, serta rasa saling percaya. Hal ini dapat secara signifikan mengurangi potensi konflik regional, antara lain, melalui mekanisme pembangunan kepercayaan, seperti ASEAN Defense Minister Meeting-Plus, ASEAN Plus Three, dan ASEAN Regional Forum.

Kedua, penghormatan terhadap hukum internasional. Hal ini telah menjadi prinsip dasar dalam mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, termasuk menghormati kedaulatan dan integritas teritorial.

Konvensi PBB tentang hukum laut sebagai bagian dari hukum internasional tidak diragukan lagi telah menjadi sumber utama dan kerangka kerja yang komprehensif tentang hukum laut. Dalam hal ini, Indonesia selalu menekankan pentingnya hukum internasional dalam menyelesaikan setiap sengketa di China Selatan terkait tumpang tindih klaim.

Indonesia bukanlah negara pengklaim fitur-fitur maritim di Laut China Selatan. Kami juga secara konsisten menyatakan bahwa setiap klaim harus dibuat dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kata Wamenlu Pahala.

Ketiga, memerangi kejahatan maritim transnasional. Mekanisme kerja sama di antara negara-negara di kawasan ini telah tersedia, termasuk dialog kebijakan dan berbagi informasi. Di masa depan, ada kebutuhan untuk secara bertahap melembagakan dan memobilisasi kerja sama yang lebih besar dalam memerangi kejahatan di Laut China Selatan. Hal ini dilakukan dengan tetap menghormati hukum internasional dan kedaulatan nasional negara-negara.

Menurut Wamenlu Pahala, hal yang berikutnya adalah mengatasi perubahan iklim. Jika ada satu hal yang dapat menyatukan negara dan umat manusia, maka hal itu adalah mengatasi perubahan iklim, yang telah menjadi ancaman eksistensial dari waktu ke waktu, imbuhnya.

Dalam kasus Laut China Selatan, perubahan iklim cenderung mengintensifkan persaingan sumber daya di sekitarnya, sehingga menimbulkan lebih banyak biaya untuk konflik. Namun di sisi lain juga dapat menjadi faktor untuk menyatukan semua pihak dan meningkatkan kerja sama yang konkret.

Terakhir adalah pengembangan ekonomi biru. Mengingat potensi yang ada di Laut China Selatan, maka sangat masuk akal jika ekonomi biru menjadi bidang kerja sama yang harus dikembangkan di antara negara-negara di kawasan.

ASEAN telah menegaskan kembali komitmennya terhadap kerja sama regional di bidang ekonomi biru dan menciptakan kerangka kerja ekonomi biru dengan tiga prinsip, nilai tambah, inklusivitas, dan keberlanjutan, kata Wamenlu Pahala.

Melalui beberapa hal ini, diharapkan Laut China Selatan yang menghubungkan orang-orang, bangsa-bangsa, dan negara-negara dapat mengikat mereka bersama dalam semangat mengejar perdamaian dan kemakmuran bersama, serta tidak menjadi wilayah kontestasi yang menonjolkan perbedaan posisi geopolitik, memisahkan orang dan negara lebih jauh atau bahkan menjadi medan perang.

Narahubung: Maulida (082229125536)

Caption Foto: Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia saat menyampaikan Keynote Speech Jakarta Geopolitical Forum VIII/2024

Biro Humas Lemhannas RI

Jalan Medan Merdeka Selatan 10, Jakarta 10110

Telp. 021-3832108/09

http://www.lemhannas.go.id

Instagram: @lemhannas_ri

Facebook: lembagaketahanannasionalri

Twitter: @LemhannasRI

TikTok: @lemhannas_ri