Sampaikan Materi Artificial Intelligence, Wamendikti RI: Manusia Harus Tetap Memegang Kendali atas Sistem AI
Berita & Artikel Senin, 13 Oktober 2025, 15:00Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Prof. Stella Christie, Ph.D. berkesempatan memberikan kuliah umum pada Peserta Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) XXVI Lemhannas RI di Auditorium Gadjah Mada pada Senin (13/10). Stella Christie pada kesempatan tersebut menyampaikan materi tentang “Artificial Intelligence (AI), Data, dan Ketahanan Nasional: Pertaruhan Masa Depan Indonesia.
Mengawali paparannya, Stella Christie menyampaikan bahwa AI dapat menjadi tantangan global untuk kemanusiaan dan tantangan untuk Indonesia. Hal tersebut terlihat dengan banyaknya lulusan ilmu komputer yang akan terancam keberadaannya oleh AI.
Menurut Stella Christie, masyarakat harus tajam dalam melihat dan menganalisis secara keseluruhan dari risiko AI. Adapun empat risiko AI yang disampaikan Stella Christie, yakni peningkatan pengangguran, penurunan keamanan internet, penurunan reliabilitas informasi dan peningkatan kesenjangan. Namun, dibalik risiko tersebut, AI juga bermanfaat untuk menciptakan bisnis baru (enabler), mendeteksi ancaman dengan lebih akurat, pemeriksaan fakta dan penyeimbang bagi Indonesia dalam menggunakan alat AI seperti di negara maju.
AI berpotensi menciptakan lebih banyak lapangan kerja dari pada yang tergantikan. Untuk itu, sebagai lembaga negara, pemerintah harus menyiapkan pelatihan untuk meningkatkan skill SDM Indonesia yang tidak tergantikan dengan AI, seperti talent management, curiosity and lifelong learning, creative thinking, technological literacy, resilience, flexibility and agility, leadership and social influence, analytical thinking,sampai system thinking. “Kalau kita ingin meningkatkan SDM kita, mereka perlu tahu tentang data dan AI. Tetapi mereka juga bahkan lebih perlu lagi mempunyai system thinking, (dan) mempunyai analytical thinking,” ujar Stella Christie.
Tentang dimensi keamanan, sebuah negara harus menentukan keberadaan pada AI yang diinginkan, yakni berada pada good place (AI sebagai keamanan) atau bad place (AI sebagai peretasan). Pada good place, manusia harus bisa mengerti dan mengevaluasi bagus tidaknya output dari sebuah AI. Sedangkan pada bad place, AI mentransformasi struktur sehingga lebih mudah untuk melakukan peretasan.
Sejalan dengan hal tersebut, manusia harus tetap berada di pusat dalam pengambilan keputusan, seperti menutup suatu siber, menentukan serangan yang harus diserang kembali, dan menentukan kekuatan untuk membentuk pertahanan pada siber. “Jadi, manusianya tetap harus ada untuk kita bisa menjadi the good place karena kita sering berhubungan dan kita tidak hidup di dunia yang kosong. Kita berhubungan dengan negara-negara tetangga kita, kita perlu melihat apa sebenarnya yang harus kita lakukan sebagai negara yang belum tentu mempunyai AI yang paling canggih,” tegas Stella Christie.
Selanjutnya, agar AI bisa berperan sebagai reliabilitas informasi, alat pemeriksa fakta (fact checker) yang berbasis AI harus tersedia dalam semua bahasa. Kemudian, alat tersebut harus menghindari keberpihakan pada narasi dominan di internet dalam bahasa tertentu.
Sebagai penyeimbang, AI bisa menjadi alat yang jauh lebih murah dalam memprediksi kesehatan seseorang, seperti di Amerika Serikat yang mempunyai AI tool untuk memprediksi kanker. Aspek penyeimbang lainnya adalah pada dunia pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dari akses ke kelas daring berkualitas tinggi dari universitas-universitas terkemuka dunia bagi para pelajar di Global South.
Di balik kemajuan AI, Stella Christie berpesan agar AI jangan sampai menjadi hype. Stella Christie mengatakan bahwa keterampilan berbasis AI ditujukan bagi karyawan yang pekerjaannya terancam tergantikan. Stella Christie juga berpesan pada generasi muda yang akan memasuki pasar kerja untuk fokus pada keterampilan yang berpusat pada manusia ketika AI sudah meluas dan matang.
Bagi pemerintah, Stella Christie berharap bersama pengembang AI harus aktif untuk mengurangi risiko AI seperti, menggantikan pekerjaan, menggantikan manusia, menurunkan keamanan, menurunkan reliabilitas dari informasi, memperbanyak hoaks, juga meningkatkan ketimpangan mereka di segelintir perusahaan.
Lebih lanjut, pemanfaatan AI untuk ketahanan Indonesia dapat diwujudkan dengan transparansi dan keterjelasan, keadilan dan kesetaraan, keamanan dan keselamatan, berpusat pada manusia, privasi dan tata kelola data, akuntabilitas dan integritas serta ketangguhan dan keandalan. Menutup paparannya, Stella Christie menyampaikan bahwa manusia harus tetap memegang kendali atas sistem AI, termasuk kemampuan untuk meninjau, memverifikasi, dan melakukan intervensi terhadap keputusan AI yang berdampak signifikan. (SP/CHP)
