Lemhannas RI Kembali Adakan FGD Kajian Jangka Panjang Konflik Sosial Pemilu 2024

Berita & Artikel Senin, 27 Juni 2022, 09:02

Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) melalui Direktorat Pengkajian Hankam dan Geografi Deputi Bidang Pengkajian Strategik, dalam rangka melengkapi substansi naskah kajian jangka panjang Konflik Sosial dalam Pemilu dan Pencegahannya untuk Menyukseskan Pemilu 2024, kembali mengadakan focus group discussion (FGD) di Ruang Kresna, Gedung Astagatra Lemhannas RI, Jakarta pada Senin (27/06).

Kegiatan tersebut dibuka oleh Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas RI Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. Potensi terjadinya konflik pada Pemilu 2024 penting untuk diantisipasi sejak dini mengingat pada tahun 2024 akan dilaksanakan pemilu serentak. Apabila karena sesuatu hal konflik tersebut sampai terjadi di sebagian besar daerah pemilihan, tentu hal ini akan sangat sulit ditangani oleh aparat keamanan dan akan dapat berpengaruh langsung terhadap kondisi kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) dan keberhasilan penyelenggaraan Pemilu 2024. Terkait dengan hal tersebut, Lemhannas RI memiliki tugas memberikan masukan kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden RI, berupa konsep rekomendasi kebijakan strategis, kata Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas RI saat membacakan sambutan.

Kegiatan ini diadakan setelah rangkaian FGD di Provinsi Sumatera Utara 13-16 Juni 2022 lalu dan FGD secara hybrid 21 April 2022 lalu. FGD kali ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI Dave Lumenta, Ph.D., Pa Sahli Tk.III Sosial Budaya Hukum HAM dan Narkoba Panglima TNI Mayjen TNI Ramses Lumban Tobing, S.T., Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dr. Radian Syam, S.H., M.H., Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) tahun 2011 Bambang Eka Cahya Widodo, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya, S.IP., M.Sc., Direktur Kompetisi Wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Prof. Dr. Rajab Ritonga, M.Si., dan Sekretaris Utama Lemhannas RI Tahun 2016-2018 Komjen Pol (Purn) Drs. Arief Wachyunadi.

Materi pertama disampaikan oleh Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI Dave Lumenta, Ph.D. yang memaparkan tentang Memahami Anatomi Konflik & Reartikulasi Konflik menjadi Kekerasan sebagai Catatan untuk Mengantisipasi Konflik Sosial & Pemilu. Konflik sosial selalu inheren dalam hubungan sosial yang senantiasa diwarnai kompetisi dan keterbatasan sumber daya. Menurut Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI masalah ketika konflik sosial menjadi kekerasan merupakan konsekuensi dari kegagalan pengelolaan konflik. Pertama memang adalah bahwa di setiap di daerah kita harus bisa mengidentifikasi sebenarnya konflik historis yang ada dan bagaimana konflik yang sudah berlangsung dinarasikan, tutur Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI. Kemudian Ketua Program Studi Pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI menyimpulkan bahwa pemilihan umum adalah sebuah ritual demokrasi yang menandai sebuah rekonfigurasi kekuasaan yang menjadi momen krusial bagi rekonfigurasi kepentingan dan konflik. Saat ini konflik tidak bisa lagi dikelola oleh institusi lokal seperti tokoh-tokoh masyarakat bahkan institusi nasional seperti aparat dan pers. Hal ini disebabkan terjadinya despasialisasi konflik yang sudah masuk ke ranah maya, seperti internet, media sosial, dan jaringan transnasional.

Narasumber berikutnya, yaitu Pa Sahli Tk.III Sosial Budaya Hukum HAM dan Narkoba Panglima TNI Mayjen TNI Ramses Lumban Tobing, S.T., memaparkan cara mencegah konflik pada pemilu sebelum pemungutan suara menggunakan pendekatan pembinaan teritorial (binter). Mayjen TNI Ramses Lumban Tobing, S.T. memaparkan lima alasan menggunakan pendekatan binter, yaitu satuan TNI tergelar di seluruh wilayah Indonesia, lalu gelar satuan teritorial terhubung langsung dengan pemerintah/rakyat, kemudian setiap aparatur teritorial (apter) selalu bersama rakyat terutama yang mengalami kesulitan, kemudian apter selalu diberikan pembekalan, serta program binter selalu diperbarui sesuai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang ada.

Binter TNI memiliki tujuan segala usaha, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan untuk mewujudkan ruang, alat, dan kondisi juang yang tangguh serta kemanunggalan TNI/Rakyat dalam rangka ketahanan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Pencegahan konflik pada pemilu dengan dengan binter, dapat diupayakan dengan cara sosialisasi pemilu, memetakan potensi konflik, pendekatan elit secara berjenjang, memiliki personil yang siaga dan membuat aturan jelas sejauh mana apter bisa terlibat dalam proses pemilu untuk mencegah keterlibatan politik.

Selanjutnya Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Dr. Radian Syam, S.H., M.H. berbicara beberapa hal terkait pemilu, di antaranya adalah pemilu dan kedaulatan rakyat, kerawanan dalam pemilu, serta tantangan penegakkan keadilan pemilu tahun 2024. Terkait pemilu dan kedaulatan rakyat, kondisi ideal yang diharapkan adalah terjadinya hubungan hukum pemilu yang ditandai dari kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan, perdamaian, jujur, terbuka, efektif, profesional, efisien, tertib, dan kepastian hukum.

Lebih lanjut, Dr. Radian Syam, S.H., M.H. memaparkan terkait dua hal yang menjadi kerawanan dalam pemilu. Adanya masalah hukum, seperti administrasi pemilu, pidana pemilu, sengketa proses pemilu, sengketa hasil pemilu, sampai masalah kode etik. Kemudian kerawanan pada pemilu juga terjadi karena adanya konflik, mulai dari konflik antar pendukung internal dan eksternal partai politik, konflik peserta pemilu dengan birokrasi atau aparat keamanan, konflik peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, dan konflik peserta pemilu dengan masyarakat yang bukan peserta pemilu.

Turut disampaikan ada enam hal yang menjadi tantangan dalam penegakkan keadilan pemilu tahun 2024, yaitu terdapat frasa dalam UU yang belum tegas, tidak adanya sebuah kekuatan daya paksa bagi setiap putusan Bawaslu, terbukanya beberapa ruang dalam menempuh hukum, masalah dana kampanye seperti pemberian voucher dan uang digital, kampanye digital seperti penggunaan media sosial, dan titik kampanye yang belum jelas seperti pemasangan baliho dan spanduk.

Berkaitan dengan hal-hal yang disampaikannya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti itu menyampaikan beberapa saran, yakni mematuhi norma hukum, tugas dan kewenangan penyelenggara pemilu harus dipedomani oleh penyelenggaranya, regulasi yang jelas dan tidak multitafsir, serta tidak membuat aturan dalam waktu yang sesak. Tidak ada sistem pemilu yang sempurna, tetapi bagaimana kita menjadikan pemilu sebagai media membangun bangsa, tutur Dr. Radian Syam, S.H., M.H.

Selanjutnya Ketua Bawaslu tahun 2011 Bambang Eka Cahya Widodo menyampaikan konsep keadilan pemilu berarti memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan terkait proses pemilu adalah taat hukum dan bahwa pemenuhan hak pemilihan umum dilindungi dan ditegakkan sehingga memberi kemampuan membuat keluhan, memberikan keterangan, dan menerima putusan bagi orang-orang yang percaya bahwa hak pemilu mereka telah dilanggar.

Mantan Ketua Bawaslu juga menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan untuk mencegah sengketa kepemiluan, di antaranya merancang dan menerapkan kerangka hukum yang sesuai untuk proses kepemiluan; menetapkan penyelenggara pemilu yang profesional, tetap, dan tak berpihak/independen; dipatuhinya kode etik oleh jajaran penyelenggara pemilu dan badan lain dalam sistem penyelesaian sengketa pemilihan; dijaminnya kondisi persaingan pemilu yang adil; serta pembangunan peran masyarakat sipil, seperti misalnya kemampuan untuk memantau seluruh tahapan proses pemilu.

Paparan selanjutnya dibawakan oleh Sestama Lemhannas RI tahun 2016-2018 Komjen Pol (Purn) Drs. Arief Wachyunadi. Mengawali paparannya, Komjen Pol (Purn) Drs. Arief Wachyudi membahas terkait gangguan keamanan dalam negeri pada pemilu tahun 2019. Adapun empat jenis kejahatan yang terjadi selama tahapan pemilu 2019, mulai dari yang terbanyak kejahatan konvensional, kejahatan transnasional, kejahatan kerugian kekayaan negara, sampai kejahatan berimplikasi kontijensi. Mencermati hal tersebut, Komjen Pol (Purn) Drs. Arief Wachyudi berharap agar kajian jangan panjang ini hasilnya lebih komprehensif. Maka semua tahapan wajib disertakan dimulai dari mengelola potensi gangguan, ambang gangguan, dan gangguan nyata dengan upaya preemtif, preventif, represif atau penegakan hukum serta kuratif dan rehabilitasi. Komjen Pol (Purn) Drs. Arief Wachyudi menyampaikan bahwa tahapan dan upaya tersebut harus direncanakan dengan cerdas, matang, dan baik agar pelaksanaan pemilu tahun 2024 berjalan sesuai rencana dan sukses.

Selanjutnya, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Edbert Gani Suryahudaya, S.IP., M.Sc. memberikan rekomendasi untuk mencegah konflik sosial dalam menyukseskan pemilu tahun 2024. Rekomendasi tersebut dibagi menjadi tiga hal, yakni pelaksanaan pemilu, tren hate speech, dan terkait kekerasan. Pada pelaksanaan pemilu perlu dipastikan adanya akses kampanye yang sama bagi tiap kontestan, lalu perlu ketegasan penyelenggara terhadap aksi kampanye hitam dan hoaks, kemudian perlunya langkah preventif pada akhir tahun 2022 untuk meredam konflik daerah yang dijabat oleh pejabat sementara dan diperlukannya tim kolaborasi bersama pakar dan masyarakat sipil dalam tindakan pencegahan konflik pemilu. Pada tren hate speech, ujaran kebencian/hate speech tidak dapat dianggap sepele, lalu harus ditangani semenjak trigger phase agar tidak merembet ke kerasan nyata, lalu perlunya pemanfaatan big data dengan analisis yang ketat secara akademis, intervensi harus dilakukan secara proporsional dan adanya keterlibatan public figure dalam mengisi kekuatan di tengah sangat penting. Lebih lanjut terkait kekerasan, peran warga setempat perlu dijadikan prioritas dalam rencana aksi, lalu perlunya sosialisasi terhadap potensi konflik sedini mungkin, kemudian intervensi negara secara efektif perlu dilakukan secara proporsional dan memenuhi asas keadilan dan perlunya kolaborasi dengan masyarakat sipil dalam pembentukan sistem peringatan dengan dilakukannya data sharing.

Terakhir, paparan diberikan oleh Direktur Kompetisi Wartawan PWI Pusat Prof. Dr. Rajab Ritonga, M.Si. yang menyampaikan peran media massa dan media sosial dalam pencegahan konflik sosial pada pemilu tahun 2024. Media massa dan media sosial menjadi sarana peserta pemilu untuk meraih suara dukungan. Media massa mencapai beritanya atau menyebarluaskan beritanya melalui taat kode etik jurnalistik, kata Direktur Kompetisi Wartawan PWI Pusat. Media massa harus menyediakan informasi yang jujur dan jernih akan hal-hal yang layak dan perlu diketahui masyarakat terkait persaingan peserta pemilu. Lalu, media massa dan media sosial tidak digunakan sebagai alat penyebaran hoaks dan penyebarluasan kebencian. Kemudian, pemilik media tidak berpolitik dan wartawan juga seharusnya tidak terlibat kegiatan politik praktis, serta teknologi digital memerlukan kedewasaan berdemokrasi terutama bagi pengguna media sosial. Disampaikan juga bahwa menciptakan masyarakat digital dengan kemampuan literasi digital sangat penting untuk mencegah konflik sosial pada pemilu tahun 2024. Tanpa literasi digital maka saya berpendapat kondisi yang kita alami sekarang ini masih akan terjadi, pungkas Direktur Kompetisi Wartawan PWI Pusat mengakhiri paparannya. (SP/CL)


Tag