Menteri ESDM RI di JGF IX/2025: Hilirisasi Harus Berkeadilan dan Berkelanjutan

Berita & Artikel Selasa, 24 Juni 2025, 13:00

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI Bahlil Lahadalia bertindak sebagai Keynote Speech pada Jakarta Geopolitical Forum (JGF) Lemhannas RI Ke-9 hari pertama yang mengangkat tema “Geoeconomic Fragmentation and Energy Security” bertempat di Ballroom Hotel Borobudur, pada Selasa (24/6). Pada kesempatan tersebut Menteri Bahlil menyampaikan tentang hilirisasi, industrialisasi, dan ketahanan energi dalam respon terhadap perubahan geopolitik.

Dalam paparannya, Menteri Bahlil mengingatkan bahwa kondisi global saat ini sangat mencemaskan, dengan perubahan geopolitik yang terjadi sangat cepat, bahkan per hari. Kondisi tersebut dimulai dari tahun 2016 saat dimulai perang dagang dan pada saat yang bersamaan, dunia dituntut untuk menguasai transisi energi. Di tengah ketidakpastian global, Menteri Bahlil menekankan pentingnya Indonesia untuk mengukur dan memaksimalkan keunggulan komparatif yang dimiliki. Menurut Bahlil, strategi pertahanan terbaik untuk menghadapi dunia yang tidak pasti adalah dengan memaksimalkan potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia dan melakukan ekspansi.

Menteri Bahlil menyoroti pentingnya hilirisasi sebagai strategi fundamental. Ada dua alasan utama yang disampaikan Menteri Bahlil pada forum tersebut. Pertama adalah Indonesia menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, bauksit nomor empat dunia, timah nomor satu dunia dan batubara nomor enam di dunia. Dengan adanya penetapan mineral strategis tersebut oleh pemerintah, hilirisasi diharapkan memberi efek ganda bagi masyarakat, memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kedua adalah, Menteri Bahlil menegaskan agar Indonesia belajar pada negara-negara maju, seperti Inggris yang menjadi pionir revolusi industri, kemajuan pesat pada industri Amerika Serikat, penerapan kuota dan pajak ekspor Tiongkok sejak tahun 1990 untuk logam tanah jarang (LTJ) mentah, penguasaan teknologi semikonduktor di Jepang, dan lainnya.

Menteri Bahlil juga menyinggung perdebatan yang muncul terkait hilirisasi, antara kebutuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, karena keperluan ekonomi juga harus ciptakan lapangan kerja. Perdebatan terjadi antara hilirisasi padat teknologi atau padat karya. Menteri Bahlil menyampaikan, bahwa hilirisasi merupakan strategi kehadiran pemerintah untuk mendorong transformasi ekonomi. “Hilirisasi harus juga berkeadilan dan berkelanjutan. Kami akui bahwa hilirisasi belum sempurna. Hilirisasi berkeadilan, selama ini masih banyak diterima manfaatnya oleh pemerintah dan investor. Ke depannya harus orang-orang daerah yang dapat manfaat hilirisasi secara bertahap. Kita juga harus sadar bahwa hilirisasi ini perlu ramah lingkungan,” ujarnya.

Dalam konteks keadilan, Menteri Bahlil mengakui hilirisasi di daerah-daerah Indonesia memiliki manfaat yang paling banyak. Menurutnya, hilirisasi harus adil bagi daerah, UMKM daerah, dan masyarakat daerah. Hal tersebut dikatakan bagian dari implementasi sila kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Bahlil mengatakan perlu adanya kolaborasi yang baik antara investor, pemerintah pusat, pengusaha daerah, masyarakat daerah, dan pemerintah daerah.

Lebih lanjut, Menteri Bahlil juga mengatakan bahwa produk ramah lingkungan saat ini menjadi topik pembicaraan global. “Kalau produk yang ramah lingkungan, syaratnya harus mempunyai green energy dan green industry. Kita mempunyai bahan baku yang cukup, kita mempunyai potensi energi baru terbarukan, kita mempunyai CCS (carbon capture storage) untuk menangkap carbon capture. Ini adalah keunggulan komparatif yang negara kita miliki, yang belum tentu negara lain punya,” pungkas Menteri Bahlil. Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Bahlil menyadari perlu adanya kolaborasi dan kerja sama antara Indonesia dan dunia internasional. (SP/CHP)


Tag