RTD Lemhannas RI Bahas penanggulangan dampak konflik Timur Tengah

Berita & Artikel Senin, 10 April 2017, 07:53

RTD yang mengangkat tema Penanggulangan dampak konflik di kawasan timur tengah terhadap keamanan di indonesia guna mencegah perkembangan paham radikal dalam rangka ketahanan nasional tersebut menghadirkan sejumlah narasumber yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP., Kepala Badan Nasional PenanggulanganTerorisme Komjen Pol Drs. Suhardi Alius, M.H., Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Dr. H. Marsudi Syuhud, dan Pengamat Terorisme Al Chaidar.

Dalam sambutanya, Gubernur Lemhannas RI mengatakan bahwa konfilk yang terjadi di timur tangah akan memberikan dampak kepada stabilitas keamanan di Indonesia. Salah satu dampak negatif tersebut berupa gerakan radikalisme di Indonesia. program-program pemerintah untuk menghadapai ancaman gerakan radikalisme namun program-program tersebut belum berjalan efektif. Dengan kondisi saat ini, lanjut Agus widjojo, diperlukan penyusunan strategi untuk mencegah perkembangan gerakan radikaisme yang bersumber dari konflik timur tengah.

RTD kemudian dilanjutkan dengan paparan hasil kajian sementara oleh Mayjen TNI (Purn) M. Nasir Majid, S.E.. Nasir Majid memaparkan bahwa terdapat dua daerah konflik yang berpengaruh terhadap Indonesia yaitu di Iraq dan Suriah. Strategi sementara untuk menanggulangi ancaman radikalisme yang ada saat ini dengan deradikalisasi, memperbaiki sistem pendidikan, diplomasi, edukasi, dan sosialisasi.

Menanggapi paparan hasil kajian sementara, Suhardi Alius dalam paparannya menyatakan bahwa saat ini terdapat gerakan ideologi gerakan keagamaan transnasional yang bersifat lintas negara (borderless), bertumpu pada konsep khilafah (konsep umat), bersifat skripturalis, menggunakan dakwah keagamaan, dan menganggap negara barat sebagai ancaman.

Radikalisme sendiri, ungkap Suhardi Alius, terdiri dari dua macam yaitu yang bersifat destruktif yang pro kekerasan dan statis yang hanya berupa gagasan. Akar dari radikalisme di dimensi internasional adalah adanya ketertindasan dan menganggap bahwa hal tersebut harus diubah, menganggap proses damai untuk mencapai perubahan tidak dapat diperoleh, dan kekerasan adalah cara yang sah dalam mencapai tujuan. Sementara dalam dimensi nasional, akar radikalisme adalah adanya salah tafsir dalam ajaran agama untuk mencapai tujuan kelompoknya, balas dendam, kemiskinan, pendidikan, dan ketidakadilan.

Suhardi Alius juga memaparkan potensi-potensi ancaman radikalisme di Indonesia yang berakar dari tidak kuatnya pendidikan kebangsaan. BNPT saat ini, ujar Suhardi Alius, berupaya mengatasi ancaman-ancaman tersebut dengan soft Approach dan Hard Approach. BNPT juga melibatkan media sosial, generasi muda, juga para mantan pelaku redikalisme, tenaga ahli BNPT, dan kementerian juga lembaga pemerintah.

Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, MAP. menyatakan bahwa radikalisme tidak selalu berarti negatif dikarenakan radikalismese adalah bagian dari filsafat. Gerakan-gerakan radikalisme yang nasionalis dan pasif sebaiknya didukung namun Radikalisme yang bersifat merusak NKRI atau bersifat aktif harus diberantas.

Menurut data yang dimiliki oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa di bidang pendidikan, indikator radikaslisme yang telah terindikasi adalah benci terhadap pemerintah, menolak menyanyikan lagu kebangsaan, dan adanya kelompok-kelompok di dalam sekolah yang memiliki solidaritas erat. Prof. Muhadjir mengatakan bahwa kemendikbud akan berusaha merubah sistem pendidikan dengan program yang mengharuskan sekolah memantau murid-muridnya walaupun setelah jam sekolah.

RTD tersebut kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh dua narasumber dan empat penanggap set=rta tanggapan dari peserta diskusi.


Tag