Diaspora Indonesia di era globalisasi ini bukan lagi dianggap sebagai hal yang negatif, tetapi justru menjadi aset. WNI yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia tidak hanya padat modal, tetapi juga berpendidikan tinggi dan kaya inovasi. Demikian disampaikan Dino Patti Djalal ketika menjadi pembicara di kelas PPRA 59 Lemhannas RI, Kamis (9/5), di ruang NKRI, Gedung Panca Gatra lantai 3.


Poinnya adalah di era globalisasi ini, diaspora bukan lagi dianggap sebagai beban, tapi menjadi suatu aset, kata Dino. Selain mempunyai modal kapital, berpendidikan tinggi, dan padat inovasi, para diaspora juga memiliki nasionalisme tinggi, kekuatan jaringan bagus, berprestasi, dan mempunyai idealisme. Sebagai contoh, pendapatan rata-rata diaspora Indonesia di Amerika itu hampir $ 60.000/ tahun, $10.000 lebih besar dari pendapatan rata-rata penduduk AS secara umum sambung Dino. Dan 60% Diaspora Indonesia di AS, usia 25 tahun keatas memiliki gelar S1, S2, dan S3 dan ini lebih tinggi dari persentase orang Amerika sendiri yang memiliki gelar yang sama yaitu sekitar 25% tambah Dino.


Ceramah Dino yang bertema Diaspora dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi Indonesiajuga menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan diaspora sebelum dan sesudah diselenggarakannya kongres diaspora yang dia gagas pada tahun 2012. Kebijakan (pengelolaan diaspora) sebelum 2012, sebelum adanya kongres diaspora itu tidak ada diaspora policy, dan istilah diaspora juga tidak diakui dan digunakan, juga cenderung legalistik dan WNI fokus, dan pendekatannya juga cenderung TKI focus, jelas Dino.


Diaspora Indonesia sendiri, dengan jumlah yang cukup besar, tersebar di 18 negara antara lain, di Malaysia, Singapura, Australia, China, Suriname, Madagaskar, Amerika Serikat, Belanda, Timor-Leste, Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Jerman, Korea Selatan, Afrika Selatan, Kaledonia Baru, Hongkong dan Taiwan. Jumlahnya untuk WNI tercatat 4.7 juta orang di perwakilan RI, sementara itu menurut Dino jumlah sebenarnya bisa mencapai 6 jutaan, karena sistem pencatatannya masih belum rapi. Bila dijumlahkan dengan WNA generasi satu dan generasi dua, jumlah diaspora Indonesia jumlahnya masih belum terhimpun, karena di KBRI belum ada sistem pencatatan terhadap WNI yang menjadi WNA.

" /> Diaspora Indonesia di era globalisasi ini bukan lagi dianggap sebagai hal yang negatif, tetapi justru menjadi aset. WNI yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia tidak hanya padat modal, tetapi juga berpendidikan tinggi dan kaya inovasi. Demikian disampaikan Dino Patti Djalal ketika menjadi pembicara di kelas PPRA 59 Lemhannas RI, Kamis (9/5), di ruang NKRI, Gedung Panca Gatra lantai 3.


Poinnya adalah di era globalisasi ini, diaspora bukan lagi dianggap sebagai beban, tapi menjadi suatu aset, kata Dino. Selain mempunyai modal kapital, berpendidikan tinggi, dan padat inovasi, para diaspora juga memiliki nasionalisme tinggi, kekuatan jaringan bagus, berprestasi, dan mempunyai idealisme. Sebagai contoh, pendapatan rata-rata diaspora Indonesia di Amerika itu hampir $ 60.000/ tahun, $10.000 lebih besar dari pendapatan rata-rata penduduk AS secara umum sambung Dino. Dan 60% Diaspora Indonesia di AS, usia 25 tahun keatas memiliki gelar S1, S2, dan S3 dan ini lebih tinggi dari persentase orang Amerika sendiri yang memiliki gelar yang sama yaitu sekitar 25% tambah Dino.


Ceramah Dino yang bertema Diaspora dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi Indonesiajuga menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan diaspora sebelum dan sesudah diselenggarakannya kongres diaspora yang dia gagas pada tahun 2012. Kebijakan (pengelolaan diaspora) sebelum 2012, sebelum adanya kongres diaspora itu tidak ada diaspora policy, dan istilah diaspora juga tidak diakui dan digunakan, juga cenderung legalistik dan WNI fokus, dan pendekatannya juga cenderung TKI focus, jelas Dino.


Diaspora Indonesia sendiri, dengan jumlah yang cukup besar, tersebar di 18 negara antara lain, di Malaysia, Singapura, Australia, China, Suriname, Madagaskar, Amerika Serikat, Belanda, Timor-Leste, Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Jerman, Korea Selatan, Afrika Selatan, Kaledonia Baru, Hongkong dan Taiwan. Jumlahnya untuk WNI tercatat 4.7 juta orang di perwakilan RI, sementara itu menurut Dino jumlah sebenarnya bisa mencapai 6 jutaan, karena sistem pencatatannya masih belum rapi. Bila dijumlahkan dengan WNA generasi satu dan generasi dua, jumlah diaspora Indonesia jumlahnya masih belum terhimpun, karena di KBRI belum ada sistem pencatatan terhadap WNI yang menjadi WNA.

"> Diaspora Indonesia di era globalisasi ini bukan lagi dianggap sebagai hal yang negatif, tetapi justru menjadi aset. WNI yang kini tersebar di berbagai penjuru dunia tidak hanya padat modal, tetapi juga berpendidikan tinggi dan kaya inovasi. Demikian disampaikan Dino Patti Djalal ketika menjadi pembicara di kelas PPRA 59 Lemhannas RI, Kamis (9/5), di ruang NKRI, Gedung Panca Gatra lantai 3.


Poinnya adalah di era globalisasi ini, diaspora bukan lagi dianggap sebagai beban, tapi menjadi suatu aset, kata Dino. Selain mempunyai modal kapital, berpendidikan tinggi, dan padat inovasi, para diaspora juga memiliki nasionalisme tinggi, kekuatan jaringan bagus, berprestasi, dan mempunyai idealisme. Sebagai contoh, pendapatan rata-rata diaspora Indonesia di Amerika itu hampir $ 60.000/ tahun, $10.000 lebih besar dari pendapatan rata-rata penduduk AS secara umum sambung Dino. Dan 60% Diaspora Indonesia di AS, usia 25 tahun keatas memiliki gelar S1, S2, dan S3 dan ini lebih tinggi dari persentase orang Amerika sendiri yang memiliki gelar yang sama yaitu sekitar 25% tambah Dino.


Ceramah Dino yang bertema Diaspora dan Peranannya dalam Pembangunan Ekonomi Indonesiajuga menjelaskan tentang bagaimana pengelolaan diaspora sebelum dan sesudah diselenggarakannya kongres diaspora yang dia gagas pada tahun 2012. Kebijakan (pengelolaan diaspora) sebelum 2012, sebelum adanya kongres diaspora itu tidak ada diaspora policy, dan istilah diaspora juga tidak diakui dan digunakan, juga cenderung legalistik dan WNI fokus, dan pendekatannya juga cenderung TKI focus, jelas Dino.


Diaspora Indonesia sendiri, dengan jumlah yang cukup besar, tersebar di 18 negara antara lain, di Malaysia, Singapura, Australia, China, Suriname, Madagaskar, Amerika Serikat, Belanda, Timor-Leste, Qatar, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, Jerman, Korea Selatan, Afrika Selatan, Kaledonia Baru, Hongkong dan Taiwan. Jumlahnya untuk WNI tercatat 4.7 juta orang di perwakilan RI, sementara itu menurut Dino jumlah sebenarnya bisa mencapai 6 jutaan, karena sistem pencatatannya masih belum rapi. Bila dijumlahkan dengan WNA generasi satu dan generasi dua, jumlah diaspora Indonesia jumlahnya masih belum terhimpun, karena di KBRI belum ada sistem pencatatan terhadap WNI yang menjadi WNA.

">

Dino Patti Djalal: Diaspora bukan Beban, tapi Aset

Berita & Artikel Kamis, 9 Mei 2019, 04:47

Tag