Hari Kedua Pelaksanaan FGD Jelang Seminar Nasional, PPRA 63 Hadirkan Ketua KPU hingga Perwakilan Meta
Berita & Artikel Kamis, 30 Juni 2022, 07:01
Peserta Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 63 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia (Lemhannas RI) kembali menyelenggarakan Focus Group Discussion bertempat di Auditorium Gadjah Mada, Gedung Pancagatra, Lemhannas RI, pada Kamis (30/06). Masih dengan tema yang sama, FGD ini merupakan rangkaian Seminar Nasional Lemhannas RI yang mengangkat judul serupa yang direncanakan dilaksanakan Agustus 2022 mendatang.
Lima narasumber yang hadir, yaitu Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia tahun 2022-2027 Rahmat Bagja, S.H., L.L.M., Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia tahun 2022-2027 Hasyim Asyari, Public Policy Manager Indonesia & Timor Leste Meta Platform Noudhy Valdryno, Drone Emprit Ismail Fahmi dan Psikolog Sosial Youth Laboratory Indonesia Muhammad Faisal.
Paparan pertama diberikan oleh Ketua KPU Republik Indonesia tahun 2022-2027 Hasyim Asyari yang menyampaikan Pemilu dalam Masyarakat Majemuk: Menyegarkan Kembali Pemaknaan Bhinneka Tunggal Ika. Ketua KPU RI menyampaikan bahwa hal yang perlu dihindari dari pemilu adalah konflik yang menggunakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun verbal. Secara hukum, pada UUD 1945 instrumen kekerasan verbal sudah dilarang dan untuk pelakunya mendapat ancaman sanksi pidana. Lebih lanjut Ketua KPU RI membahas desain Pemilu serentak. Menurutnya, desain pemilu serentak dalam arti Pemilu legislatif bersama dengan Pemilu eksekutif dapat dikatakan sebagai sarana untuk menjadikan pemilu sebagai integritas bangsa, bukan pemecah belah bangsa. Ketua KPU RI menjelaskan berdasarkan sila keempat ketika menggunakan demokrasi sebagai instrumen berbangsa dan bernegara hikmahnya adalah tujuan pencapaian kemufakatan bersama.
Selanjutnya, penyampaian materi oleh Ketua Bawaslu tahun 2022-2027 Rahmat Bagja, S.H., L.L.M., yang memaparkan peran Bawaslu meminimalisasi efek negatif politik identitas menjelang pemilu 2024. Mengawali paparannya, Ketua Bawaslu menyampaikan terkait identitas yang merupakan konsep dan gerakan politik yang fokus pada perbedaan mereka sebagai kelompok politik utama yang muncul akibat kegagalan gagasan kebebasan dan toleransi. Sedangkan politik identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan juga kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka. Faktor-faktor yang menjadi penyebab politik identitas, yakni adanya ketimpangan sosial-ekonomi di masyarakat, adanya pemahaman yang belum tuntas soal bagaimana menjaga toleransi dan eksistensi dalam ruang politik NKRI, adanya kecerobohan atau kesengajaan individu dan politikus tertentu dalam berkomunikasi, dan faktor media. Terdapat 4 strategi pencegahan yang dilakukan Bawaslu dalam mereduksi politik identitas, yakni pendekatan kelompok masyarakat, buku ceramah dan agama, Indeks Kerawanan Pemilu (IKP), dan Intelligence Media Management (IMM). Pada model pendekatan kelompok masyarakat dilakukan dengan pembentukan program forum warga Pengawasan Pemilu sebagai upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Kemudian Bawaslu juga menginisiasi Gerakan Pengawas Partisipatif Pemilu (GEMPAR) sebagai gerakan untuk melakukan pengawalan pemilu dengan bantuan dari seluruh lapisan masyarakat. Lalu pada strategi IKP, memiliki tujuan sebagai alat pemetaan, pengukuran potensi, prediksi dan deteksi dini agar fenomena politik identitas dalam pemilu 2024 dapat direduksi. Lebih lanjut, Bawaslu juga menerbitkan buku serial pengawasan Pemilu partisipatif berbasis agama di Indonesia sebagai upaya mencegah politik identitas. Kemudian, untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya polarisasi akibat politik identitas yang lebih masif pada Pemilu 2024, Bawaslu berencana mengembangkan IMM yang bertujuan sebagai alat pemetaan untuk pengawasan media sosial, iklan SARA, kontrol hoaks, dan hal-hal lain yang memiliki kaitan dengan pemberitaan dan juga media sosial.
Materi ketiga oleh Public Policy Manager Indonesia & Timor Leste Meta membahas integritas pemilu. Ada lima hal yang menjadi fokus platform Meta, yakni memerangi misinformasi, meningkatkan iklan transparansi, mendeteksi akun palsu, mengatasi perilaku dari pengguna yang buruk, dan mempromosikan informasi yang valid serta aman bagi pemilih. Untuk melawan misinformasi ada tiga cara, yaitu dengan menghapus konten dan akun yang melanggar standar komunitas Meta platform, termasuk informasi berbahaya, lalu mengurangi konten yang berkualitas rendah, serta menginformasikan kepada orang-orang dengan memberikan lebih banyak konteks tentang apa yang mereka baca dan dengan mendorong informasi otoritatif. Menurutnya, masyarakat masih menyebarkan berita yang misinformasi karena tidak memiliki acuan berita yang tepat. Untuk memberikan informasi yang tepat kita bermitra dengan fact checking partners, kata Public Policy Manager Meta. Fact checking partners merupakan pemeriksa fakta pihak ketiga dari Facebook yang sifatnya independen. Public Policy Manager Meta juga menyampaikan pentingnya mengatasi permasalahan literasi digital di Indonesia untuk menghadapi pemilu 2024. Ia juga menyampaikan bahwa masih banyak sekali masyarakat yang belum mengetahui fakta-fakta tentang pemilu. Oleh karena itu, yang dilakukan Meta adalah meluncurkan produk-produk berupa pengingat hari pemungutan suara dan pemilihan di Facebook yang nantinya dapat terhubung ke website resmiKPU dan Bawaslu serta stiker-stiker di Instagram.
Psikolog Sosial Youth Laboratory Indonesia Muhammad Faisal selaku pemapar selanjutnya, menjelaskan bahwa berdasarkan hasil riset dari tahun 2012, isu paling penting bagi anak muda, yakni religi. Hal tersebut terjadi karena adanya kekosongan ideologis dan kekosongan sudut pandang akan dunia luas ketika mereka tumbuh besar. Lebih lanjut Psikolog Sosial Youth Laboratory Indonesia menyampaikan siklus generasi di Indonesia, mulai dari generasi Alpha (1900-1930) merupakan generasi yang visioner dan idealis, kemudian generasi Beta (1931-1966) adalah generasi praktikal dan birokratis, lalu ada generasi Teta (1967-1998) merupakan generasi yang kompetitif dan individualis serta generasi Phi (1999-2029) yang merupakan generasi seniman kreatif. Disampaikan pula bahwa generasi Phi itu tidak memiliki layer di belakang mereka. Artinya, generasi yang dulu memerdekakan bangsa dan melahirkan pembangunan tidak lagi menjadi referensi mereka.
Paparan terakhir dari Direktur Media Kernels Indonesia Drone Emprit Ismail Fahmi, Ph.D mengangkat judul Pola Diseminasi Politik: Identitas Di Media Sosial. Drone Emprit adalah sistem yang berguna untuk memonitor media sosial dengan berbasis big data. Ia mengawali paparan dengan menyampaikan definisi politik identitas menurut Donald L. Morowitz, yaitu pemberian garis yang sangat tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak.
Kemudian Direktur Drone Emprit menjelaskan metodologi pengumpulan data yang dilakukan oleh Drone Emprit saat melakukan monitoring Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019, dan menjelang Pilpres 2024 yang melalui tiga tahapan analisis, yakni analisis teks; analasis proses produksi, distribusi, serta konsumsi narasi; dan analisis sosiokultural.
Kegiatan FGD ditutup oleh sambutan Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI. Dengan pelaksanaan FGD yang berlangsung selama dua hari ini, Deputi Bidang Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas RI berkeyakinan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi para peserta. Peserta diharapkan dapat memperkaya naskah dan membawanya dalam seminar sehingga dapat menghasilkan produk seminar yang dibanggakan oleh peserta PPRA 63 dan layak untuk dipaparkan ke Presiden Republik Indonesia. (SP/CHP)