CDSS Australia dan Lemhannas RI Diskusikan Penanggulangan Terorisme
Berita & Artikel Rabu, 26 Juli 2017, 03:20
Agus Widjojo dalam sambutannnya menuturkan secara singkat sejarah mengenai Lemhannas RI yang dahulu merupakan Lembaga Pertahanan Nasional dan berubah menjadi Lembaga Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional, jelas Agus Widjojo, merupakan respon Lemhannas RI terhadap berbagai ancaman terhadap bangsa Indonesia. Selain itu, Agus Widjojo juga menjelaskan bahwa Lemhannas RI saat ini memiliki dua program pendidikan yaitu PPRA yang berlangsung selama tujuh bulan dan PPSA yang berlangsung selama empat bulan.
Terkait dengan topik diskusi yaitu penanggulangan terorisme, Agus Widjojo menyatakan bahwa penanggulangan terorisme adalah masalah yang membutuhkan kerja sama dari berbagai institusi di dunia.
Menanggapi sambutan Gubernur Lemhannas RI, Mayor Jenderal Simone Wilkie mengatakan bahwa selama ini telah melakukan berbagai diskusi terbuka dengan Lemhannas RI. Oleh karena itu, Wilkie berharap ke depan, kerja sama dan MoU dengan Lemhannas RI dapat terus terjalin dan memberikan manfaat bagi kedua institusi dalam mengatasi masalah yang sama yang ada di dua negara.
Keja sama ini, lanjut Wilkie, juga harus didasari dengan rasa percaya dan saling memahami agar tercipta rasa saling menghormati. Kerja sama ini harus dibangun berdasarkan kepercayaan dan saling memahami karena dari rasa percaya tersebut akan menjadi rasa saling menghormati sehingga kita dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang belum dapat kita temukan solusinya, pungkas Wilkie.
Dalam paparan pertama yang dipaparkan oleh Jane Ackland dari CDSS yang berjudul Penahanan, Rehabilitasi, Reintegrasi Tahanan Terorisme: Pendekatan Australia terhadap Tantangan Internasional menyatakan bahwa terorisme yang bersifat wilayah saat ini telah berubah menjadi terorisme global. Australia juga turut bergabung dalam upaya PBB dan Amerika Serikat dalam mengatasi masalah tersebut.
Menurut Ackland, terorisme terbentuk karena adanya keterikatan spiritual dan sosial. Keterikatan tersebut kemudian berubah menjadi identitas perseorangan. Identitas tersebut kemudian diturunkan kepada generasi muda.
Dari sisi manajemen tahanan yang masih menjadi permasalahan global, Jane Ackland memaparkan dua metode yang terdapat di dua distrik di Australia yaitu New South Wales dan Victoria. Di New South wales, penanganan terhadap tahanan terorisme dilakukan dengan rehabilitasi. Rehabilitasi tersebut dimaksudkan untuk memulihkan karakter dan mental tahanan terorisme. Pandangan kepercayaan yang dianut para tahanan terorisme diubah menjadi lebih lunak sehingga akan membawa perubahan pada sikap, karakter, serta identitas mereka.
Sementara di Victoria, metode yang digunakan adalah metode disintegrasi dimana pandangan kepercayaan para tahanan terorisme mereka dihilangkan sehingga mereka tidak menyebarluaskan pandangan mereka kepada generasi muda.
Sedangkan menurut pemapar kedua yang merupakan perwakilan dari peserta PPRA LVI Lemhannas RI, Dwityo A. Soeranto dengan judul Strategi dalam Menanggulangi terorisme dan Radikalisme menyatakan bahwa kemunculan terorisme di Indonesia banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, politik, pendidikan, dan keterbukaan indonesia yang juga akan menyebabkan ideologi anti Pancasila.
Dalam menanggulangi terorisme yang berkembang di Indonesia, Presiden Joko Widodo seperti yang disampaikan oleh Dwityo A. Soeranto, menyampaikan beberapa kebijakan dalam forum G20 yang lalu yaitu mengawasi pendanaan bagi kelompok terorisme, membangun komunikasi strategis dalam menghadapi propaganda terorisme, menjadi kekuatan pendukung dalam mengatasi terorisme, membangun kerja sama dalam pertukaran intelejen, dan juga menekankan pentingnya deradikalisasi.
Sementara Indonesia, lanjut Dwityo, memiliki dua strategi dalam menanggulangi terorisme dan radikalisme yaitu Hard dan Soft Strategy yaitu Penyusunan Undang-Undang dalam penanggulangan terorisme, memperkuat kapasitas Badan Penanggulangan Terorisme, Strategi deradikalisasi, strategi penanggulangan radikalisasi, dan kerja sama internasional.
Sebelum menutup paparannya, Dwityo mengatakan bahwa terorisme adalah tindakan yang memiliki jaringan yang berakar dan rumit dimana tidak dapat ditanggulangi hanya dengan pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum. Selain itu, keikutsertaan berbagai pihak terkait seperti institusi pendidikan, keluarga, lingkungan sosial serta generasi muda dalam pemberantasan terorisme menjadi bagian yang penting.Diskusi tersebut kemudian dilanjutkan dengan diskusi lebih mendalam dan ditutup dengan foto bersama.